Pentingnya Keyakinan pada Tuhan
Banyak orang yang memandang Jepang adalah negara yang cukup sempurna. Mulai dari tatanan pemerintahannya, tata kota dan wilayahnya, penduduknya yang ramah dan disiplin, serta iptek yang serba maju.
Saya mengakui, negeri Indonesia masih kalah jauh di berbagai sisi kehidupan. Meski demikian, ternyata kepribadian sebagian besar orang Jepang saat ini penuh dengan kemunduran. Khususnya bila berbicara tentang keluarga dan rumah tangga.
Pertumbuhan penduduk Jepang saat ini dalam kondisi kritis. Jumlah generasi tua, jauh lebih banyak daripada generasi mudanya. Di dalam ilmu kependudukan, hal ini disebut dengan piramida terbalik. Bagian atas jauh lebih besar daripada bagian bawah yang menopangnya.
Pemerintah Jepang saat ini khawatir dengan adanya lost generation. Akibat mayoritas pemuda-pemudi Jepang yang menolak untuk menikah dan memiliki anak. Hal ini seakan tidak imbang dengan gemarnya anak-anak muda Jepang yang melakukan seks bebas. Kata orang Jawa “Mau enaknya tapi ga mau anaknya.” Hehe.
Bahkan beberapa pemerintah daerah / pervecture memberikan tunjangan bagi setiap pasangan yang menikah dan memiliki anak. Sekitar 1 juta rupiah setiap bulan. Sayangnya usaha ini tampaknya belum cukup untuk membuat anak-anak muda Jepang menikah dan berkeluarga.
Menurut saya, permasalahan utama enggannya muda-mudi Jepang untuk menikah dan memiliki keturunan bukan pada ekonomi, namun pada keyakinan mereka. Sejumlah pemuda menyebut bahwa keluarga adalah penghambat karir. Sedangkan anak adalah beban bagi dirinya. Dengan keluarga mereka merasa terikat dengan hubungan sebagai Ayah, Ibu dan anak. Berbeda ketika mereka memutuskan untuk tidak menikah. Mereka merasa bebas kemanapun mereka suka dan membuat dirinya tanpa ikatan apapun.