Malulah, sebelum Tuhan Mencabutnya
Dua hari ini saya dan istri mengurus paspor di kantor imigrasi. Mulai dari pembuatan paspor saya dan anak-anak, hingga perpanjangan paspor milik istri saya. Peningkatan pelayanan kantor imigrasi sudah tampak di sana-sini. Mulai dari pengambilan nomor urut antrian hingga loket khusus untuk penyandang cacat, bayi, wanita hamil dan lansia. Meski sudah dibenahi, namun sejumlah pelanggaran yang dilakukan pemohon paspor saya temui. Yang paling sering adalah menyerobot antrian dengan alasan lupa mengambil nomor. Petugas pun “terpaksa” melayani. Namun anehnya, petugas tidak menegurnya.
Padahal apa yang dia lakukan merugikan puluhan orang yang sudah antri sejak pagi. Yang sama-sama punya kepentingan dan punya urusan. Yang saya heran, orang-orang yang melanggar seakan tidak memiliki rasa malu bahwa mereka salah. Mentalitas negatif ini juga sering saya amati di pom bensin, saat kendaraan terutama sepeda motor, mengantri mengisi premium. Saya pun pernah menegur tiga orang yang menyerobot antrian. Dengan senyum kecut mereka mundur ke belakang.
Bukan hanya masalah antri-mengantri, soal membuang sampah sembarangan pun seakan sudah jadi budaya. Bahkan tidak sedikit orang-orang bermobil mewah yang membuang sampah lewat jendela mobil seenaknya. Berprofesi sebagai guru, istri saya pun sering menegur siswanya yang membuang sampah di ruang kelas, lobi sekolah dan bangku kelas. Padahal seringkali yang diingatkan adalah orang-orang terpelajar ataupun punya gelar yang berderet-deret. Pertanyaan apakah kita perlu terus ditegur untuk hal-hal kecil yang sebenarnya tidak perlu berpikir berat untuk menjalaninya?
Sekedar antri, sekedar buang sampah memang adalah hal kecil. Namun ketika sudah menjadi kebiasaan, maka dampaknya sangat besar. Membuang sampah sembarangan bisa berakibat banjir, malas antri boleh jadi berdampak timbulnya konflik. Ya, jika kita mengabaikan melakukan kebaikan kecil, maka tak heran jika kita pun berat melakukan kebaikan berdampak besar.
Maka sungguh bahagianya kita ketika Tuhan masih menggetarkan hati kita ketika berbuat salah. Artinya Tuhan masih mengingatkan kita untuk kembali ke jalan kebaikan. Coba dengar hati kecil kita saat berbuat kesalahan. Hati kecil itu ibarat alarm yang membangunkan kita dari tidur panjang. Namun perlu diingat, seseorang yang malas bangun lama-kelamaan menjadikan alarm tidak berdampak apapun. Demikian pula dengan rasa malu, jika kita mengabaikan hati kecil kita ketika berbuat kesalahan, dan sudah menjadi kebiasaan, maka Tuhan akan mencabut rasa malu dari dalam hati kita. Padahal malu sebagian dari keyakinan kita pada Tuhan. Jika kita mengabaikan Tuhan, jangan heran suatu saat Tuhan pun mengabaikan doa kita.