Jiwa yang Sakit
Bila kulit kita berdarah karena terkelupas, kepala kita pusing atau tubuh kita demam, itu artinya fisik kita sakit. Butuh pertolongan segera. Perlu obat dan istirahat untuk menyembuhkannya. Tubuh yang sakit dapat secara mudah dideteksi. Karena sel-sel saraf di seluruh tubuh memberikan respon yang sama.
Namun bagaimana jika jiwa kita yang sakit? Bagaimana mendeteksinya? untuk menjawab ini, saya akan memberikan contoh kasus di China.
13 Oktober lalu ada peristiwa tragis di negeri tirai bambu. Seorang bocah berusia 2 tahun ditabrak oleh sebuah minivan di jalan depan toko kedua orang tuanya. Bocah itu terkapar dan bersimbah darah di tengah jalan. Dilanjutkan dengan lindasan dari sebuah mobil box di tempat yang sama. Sayangnya, lebih dari 18 orang yang melewatinya cuek dan tidak mau menolong. Hingga seorang tukang sampah mengangkat tubuhnya dan menyerahkan ke ibunya. Anda bisa melihat rekaman cctv peristiwa ini di Youtube.
Kontan hal ini menimbulkan kecaman keras dunia. Banyak yang menyebut masyarakat China yang sebagian besar anti-Tuhan berjiwa sakit. Meski negeri mereka maju, tapi sikap individualismenya sangat tinggi. Materialismenya mengakar kuat. Hingga tidak peduli dengan apa dan siapapun di sekitar mereka.
Para pemenang kehidupan.
Manusia tidak bisa hidup sendiri. Secara fitrah manusia butuh sesamanya. Jika kita merasa kita tidak membutuhkan orang lain, sesungguhnya jiwa kita sedang sakit. Jika kita malas tersenyum dengan sesama, tidak mau menyapa dan cuek dengan lingkungan sekitar, maka gejala sakit itupun kian nampak.
Sama seperti sakit fisik, jiwa yang sakit juga butuh diobati. Jiwa yang sakit juga perlu istirahat.