BLOG

Jiwa Indonesia Malnutrisi?

Tindak kekerasan tampaknya sudah menjadi bumbu harian dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Tengok saja kasus kerusuhan masal yang berjajar rapat di bulan September hingga Oktober 2010. Mulai dari rusuh di Buol (Sulawesi Tengah), Tarakan (Kalimantan Timur), yang konon hampir menjadi tragedi Sampit kedua, hingga rusuh di Manokwari. Tentu saja, di tiap kerusuhan yang terjadi, bukan hanya korban luka-luka dan hilangnya harta benda, namun satu per satu nyawa juga berjatuhan. Kasus yang paling dekat, tentu saja kericuhan di depan Pengadilan Negeri Jakarta yang telah merenggut tiga nyawa. Seakan harga sebuah nyawa sangatlah murah di negeri ini.

Sebenarnya apa yang salah dengan masyarakat kita? Bukankah masyarakat timur terkenal dengan adabnya yang santun dan ramah? Mengapa image bangsa yang beradab, sedikit demi sedikit mulai terkikis? Mengapa sebagian warga memandang kekerasan sebagai sebuah jalan keluar? Memang, ketika kita ingin mengupas satu per satu inti dari problem negeri ini sangatlah kompleks. Dari kebijakan pemerintah, bisa jadi karena ketidakpercayaan masyarakat terhadap janji-janji manis aparatur negara. Di sisi sosial, kita melihat konflik mudah timbul, akibat salah satu atau kedua belah pihak yang bertikai tak mau mengalah.

Saya sendiri mencoba memandang dari segi individu. Saya mengutip sebuah istilah dalam Bahasa Inggris “GIGO”, yang memiliki kepanjangan Garbage In Garbage Out. Apapun yang kita masukkan ke dalam diri, akan muncul sebagai bentuk perwujudan fisik dan perilaku manusia. Individu manusia terdiri dari tubuh dan jiwa. Keduanya tak bisa dipisahkan. Keduanya sama-sama memerlukan masukan nutrisi. Bila “sampah” memenuhi fisik dan jiwa manusia, maka hal-hal negatif akan terwujud dalam diri manusia.

 

Butuh Nutrisi

Bagi tubuh, asupan nutrisi dapat diperoleh dari makanan yang bergizi dan bervitamin. Tubuh juga perlu dilatih supaya memiliki ketahanan fisik yang kuat. Kekurangan nutrisi dapat berpengaruh negatif bagi tubuh manusia. Kondisi fisik manusia akan lemah. Lemah, letih, lesu. Tak bertenaga. Kita mengenalnya dengan definisi “malnutrisi”.

Menurut saya, bukan hanya fisik manusia yang rentan terkena malnutrisi bila asupan gizi tidak sesuai dengan kebutuhan tubuh. Namun jiwa manusia juga bisa menderita malnutrisi, jika jiwa ini kering dari informasi sehat. Rupanya manusia tidak cukup hanya mendapatkan injeksi gizi dan makanan sehat semata. Sebagai satu kesatuan, jiwa manusia membutuhkan nutrisi berupa pengetahuan dan pemahaman yang segar serta cerdas. Pemahaman akan membentuk kecenderungan. Dan kecenderungan akan berbuah tindakan.

Seperti apakah asupan yang diterima oleh jiwa penduduk Indonesia? Mudahnya, kita menengok informasi dari media. Karena media adalah corong nutrisi jiwa manusia. Cermin yang konkrit adalah hasil pemantauan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers terhadap tayangan pemberitaan di televisi pada periode akhir September hingga awal Oktober 2010. Ketua KPI Dadang Rahmat Hidayat mengatakan bahwa sebagian stasiun televisi ditenggarai telah melalaikan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS), serta kode etik jurnalistik. Sebagai contohnya, media tidak menyamarkan tindakan kekerasan, yang dilakukan secara massal, tidak menyamarkan korban atau pelaku tindak kekerasan yang dilakukan secara berkelompok, memperlihatkan secara terperinci modus dan aksi kejahatan.

Ketika pemahaman yang diperoleh manusia penuh dengan kekerasan. Pengetahuan yang diperlihatkan selalu identik dengan tingkah laku negatif, maka manusia akan menjadikannya sebagai asupan bagi jiwanya. Tak heran, perilaku yang diwujudkan juga berupa tindakan yang negatif. Penuh anarkis. Mudah tersulut emosi dan gampang terprovokasi. Kita semua tentu tidak ingin Indonesia menjadi bangsa yang malnutrisi. Maka, mulai saat ini berilah nutrisi yang positif pada jiwa kita.

TAGS > , , , ,

Post a comment