Cinta bukan Apa Adanya
Ketika saya mengucapkan ijab kabul sekitar 5 tahun lalu di depan penghulu dan orang tua dari istri saya, didampingi dua orang saksi, dan disaksikan puluhan kerabat, saya menyadari mulai saat itu hidup saya pun berubah. Saya yang dulu single, sekarang sudah menenteng predikat suami. Saya yang dulu jomblo, sekarang sudah memiliki pendamping hidup. Dan saya yang dulu hanya memikirkan kata “untukku”, sekarang harus mulai memikirkan kata “untuk kita”.
Di sisi lain ada keindahan pernikahan yang luar biasa. Sebelum menikah, jangankan berciuman, berpegangan tangan pun dilarang oleh agama. Namun setelah menikah, kedua hal itu menjadi bernilai ibadah. Berduaan pun diperbolehkan. Berpelukan menjadi pelebur dosa. Hingga hubungan suami istri pun sangat besar pahalanya.
Bagi saya, apapun interaksi kebaikan yang terjadi dalam kehidupan suami-istri, itu semua ungkapan cinta sesungguhnya. Karena keduanya bukan sekedar mencintai. Keduanya juga jauh dari istilah “terimalah aku apa adanya”. Salah satu alasannya, suami memiliki tanggung jawab kepada istri, demikian sebaliknya.
Seorang suami harus siap bekerja keras demi istri dan keluarga. Seorang suami wajib merelakan semua penghasilannya untuk keluarga. Sebaliknya seorang istri wajib melayani suami dengan penuh ketaatan. Juga mengelola rumah tangga dengan sebaik mungkin. Inilah cinta sesungguhnya. Bukan hanya ungkapan, kata-kata atau ucapan pemanis bibir, namun ditunjukkan dengan tindakan, tanggung jawab dan pengorbanan.