Andai Engkau Disini
Wahai Nabi, kemarin kami memperingati maulid-mu. Tanggal kelahiran sekaligus wafatmu. Kami gembira sekaligus sedih, karena di hari itu engkau lahir sebagai pembawa cahaya Illahi. Tapi, kami pun juga sedih, karena kami tidak pernah berjumpa denganmu, tak pernah melihat wajahmu. Andai engkau disini wahai Nabi, ya… andai engkau disini.
Wahai Nabi, andai engkau disini, pasti kami akan malu padamu. Engkau menghabiskan sepertiga malam terakhir untuk berdoa pada Tuhan. Padahal engkau sudah dijamin masuk surga. Sedangkan kami, yang sama sekali belum ada jaminan, kami menghabiskan sepertiga malam terakhir dengan tertidur pulas. Seakan tak menyadari betapa banyak dosa ini.
Wahai Nabi, andai engkau disini. Pasti kami akan menangis di depanmu. Karena kami penuh dosa dan keburukan. Ketika engkau akan wafat, engkau masih saja memanggil kami, “ummati..ummati..” Sedangkan kami, selama hidup terlalu sibuk dengan bisnis dan pekerjaan. Bangun tidurpun bukan sajadah dan Qur’an yang kami buka, namun handphone, berharap ada sms atau bbm dari rekan untuk peluang bisnis baru. Seakan kita lupa bahwa rezeki itu dari Tuhan.
Wahai Nabi, andai engkau disini, pasti kami akan iri dengan keluargamu. Keluargamu begitu dekat dengan Tuhan. Mereka mencintaimu, merindukanmu. Kau begitu cinta pada anak-anakmu. Di tengah kesibukanmu berdakwah, bekerja dan melayani umat, Tapi apa yang terjadi pada keluarga kami, kami hanya sibuk bekerja, hingga lupa memberi kasih sayang seutuhnya pada keluarga. Kami pun belum mampu mendidik anak dan istri kami untuk dekat dengan Tuhan.