Curhat Buah Tomat (sebuah tulisan dari saudari saya)
oleh: Rani Tiyas Budiyanti (mahasiswa FK UNS)
“ Kita boleh saja mengambil semua tomat yang tumbuh subur di ladang bahkan yang masih muda pun ikut kita petik, tetapi jangan lupakan kapasitas tempat kita untuk menampungnya. Jangan sampai, tomat yang tak kebagian tempat malah jatuh berceceran. “
Berawal dari sebuah makalah yang mbak Afifah Afra sampaikan pada suatu pelatihan penulisan Sabtu kemarin, akhirnya saya memutuskan menuliskan note ini. Menuliskan tentang sebuah tindakan hidup yang saya sendiri alami (curhat mode on).
Dunia ini penuh dengan pilihan dan peluang, itulah mengapa banyak pepatah mengatakan bahwa kadangkala kita memang harus dituntut untuk memilih. Bagaimana tidak, mungkin para pembaca juga pernah mengalaminya, banyak acara yang harus dihadiri dalam satu waktu bersamaan. Atau lebih ekstrimnya lagi, banyak tawaran kerja yang mengalir dan semua sayang untuk ditolak.
Sebagai manusia, merupakan suatu hal yang wajar jika muncul keinginan dalam diri kita untuk menghadiri semua acara dan menerima semua tawaran pekerjaan. Keinginan atas penghargaan (esteem need) dan aktualisasi diri (self-actualization needs) yang menggebu membuat kita menyanggupi semuanya.
Saya adalah salah satunya, seringkali saya menyanggupi banyak event karena memang saya tertarik akan event-event tersebut. Saya berfikir dengan membagi waktu rata saya bisa menjalaninya. Namun apa yang terjadi, kebanyakan darinya tidak menelurkan hasil yang maksimal karena saya tak bisa terfokus oleh salah satu event. Dan, ketika saya mencoba sedikit professional dan perfectionist saya sendiri yang mengalami kepayahan luar biasa. Badan letih, pikiran semrawut, tidak jarang juga emosi meledak keluar karena terkejar deadline. Dan lebih parahnya rasa kecewa yang sangat jika tak mampu memenuhi deadline itu. Yah, malu luar biasa.
Hingga saya membaca tulisan mbak Afifah Afra tersebut, saya baru menyadari. Bahwa memang sebelum kita berangan, kita lihat dulu kapasitas untuk menampung banyak asa itu. Benar adanya bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Bolehlah bermimpi menjadi seorang insinyur merangkap penulis, dokter, wirausaha, ustadz, dan yang lainnya, akan tetapi lihatlah kapasitas diri kita. Mampukah kita menjadi dokter, penulis, insinyur, wirausaha, ustadz, yang profesional dalam waktu yang bersamaan?Jangan-jangan semua hanya berakhir dengan prestasi yang ecek-ecek. Mungkin akan ada yang menjawab bisa, tetapi apakah telah terfikirkan berapa banyak tenaga yang akan terkuras karenanya. Istilah jawa mengatakan ”ngoyo” hingga pada akhirnya tak sempat menikmati kehidupan itu sendiri.
Saya akhirnya memutuskan untuk memilih profesi yang akan saya tekuni, menjadi seorang ibu rumah tangga dan dokter yang baik. Karena memang di sinilah jalan yang harus saya lalui. Tetapi, bukan berarti saya mengabaikan impian saya yang lainnya sebagai seorang penulis, wirausaha yang sukses, ataupun impian saya yang lainnya. Saya hanya memasang prioritas dokter dan ibu rumah tangga sebagai impian jangka dekat, sedangkan penulis, wirausaha, dan impian saya yang lainnya sebagai impian jangka panjang. Menunda mimpi, bukankah tidak berarti tak mampu bermimpi lagi?
Dale Carnige pernah berkata dalam bukunya :
Jika engkau tak mampu menjadi beringin
Jadilah ilalang yang terbaik
Jika engkau tak mampu menjadi nahkoda
Jadilah kelasi yang terbaik
Kata-kata di atas tidak serta merta mengajak untuk menyerah dan pasrah. Menjadi ilalang yang terbaik saat ini, bukan berarti melupakan mimpinya menjadi beringin yang kokoh. Menjadi kelasi yang terbaik saat ini bukan berarti harus melupakan mimpi menjadi nahkoda yang hebat. Tetapi, sebuah impian pun juga memerlukan tahapan. Jika tidak, maka impian itu akan mudah dirobohkan.
Bukankah banyak, seseorang sukses yang berawal dari ”nol”? Awalnya mereka hanyalah pekerja bawahan. Mereka bersyukur dan berusaha menjadi pekerja bawahan yang terbaik. Seiring waktu, mereka naik pangkat, dan akhirnya mampu menjadi direktur dan manager. Menyenangkan bukan??
Atau ketika membaca novel ” Sang Pemimpi” yang ditulis oleh penulis kondang Andrea Hirata, di sana akan disuguhkan sosok ikal yang menjalani setiap pekerjaan yang dijalaninya dengan sebaik-baiknya tanpa meninggalkan mimpinya untuk ke Eropa. Menjadi tukang foto kopi, tukang pos yang baik hingga akhirnya mampu memperoleh beasiswa di luar negeri.
Mimpi, harapan, kegiatan, ambisi, dan keinginan. Semua tumpah ruah di dalam hati kita dan kita ingin menggapainya secara bersamaan, tetapi sekali lagi mari melihat kapasitas kita. Tetaplah mengejar mimpi tanpa meninggalkan nikmatnya kehidupan dengan cara membuat prioritas mimpi-mimpi kita tersebut. Jangan sampai tomat-tomat yang ranum kemerahan, akhirnya jatuh bergelimpangan karena terlalu memaksa memetik tomat muda dan menyesakkannya ke wadah kita…=)
*Terimakasih Pak Dhony, telah mengajarkan kepada saya dermaga mana yang akan saya tuju, sebelum saya mulai berlayar*